Selamat Datang di Sihanoukville

Jika ingin menghidu udara pantai yang segar, pergilah ke Sihanoukville, sebuah kota pelabuhan yang terletak di wilayah selatan Kamboja. Lokasinya berjarak sekitar 185 kilometer di sebelah barat daya Phnom Pehn, atau sekitar enam jam perjalanan darat.

Begitu bis yang kami tumpangi memasuki terminal, belasan pengendara ojek dan tuk-tuk segera mengerubungi penumpang yang baru turun bagaikan lalat. Setelah sibuk bernego sana-sini, saya dan teman-teman akhirnya melompat ke sebuah tuk-tuk yang tampak kewalahan menampung bagasi kami.

Destinasi kali ini adalah Otres Beach, sebuah kawasan pantai yang terbilang paling alami dibandingkan pantai-pantai lain di Sihanoukville. Hanya sedikit orang yang tahu tentang pantai ini, sisanya barangkali memang lebih memilih kawasan ramai seperti Occheuteual Beach yang dipenuhi bar dan restoran.


Hari pertama di Otres, kami bermalam di sebuah rumah penduduk yang dijadikan guest house. Mereka menyediakan beberapa bilik kayu di tingkat atas, serupa sejumlah ruangan yang disekat-sekat dan diberi perabot seadanya: sebuah dipan plus kelambu, sebuah kipas angin kecil dan lampu baca. Sepasang kursi rotan ditempatkan sempurna di depan jendela lebar yang menghadap tepat ke pantai.


Lepas tengah malam, listrik tiba-tiba padam sehingga kami terpaksa membuka jendela dengan risiko diserbu kawanan nyamuk dan dihajar hembusan angin laut. Gemuruh ombak yang bergulung pecah di bibir pantai menjadi melodi nina bobok kami. ‘Gubuk derita’, begitu kami menamainya untuk menghibur diri.


Sebetulnya, ada sejumlah penginapan lain di Otres. Hanya saja, posisinya tidak strategis menghadap pantai. Tapi, karena satu dan lain hal, kami memutuskan pindah ke sebuah guest house lain yang lebih layak. Sebagai tambahan, mereka juga menyediakan fasilitas wi-fi.


Otres sangat sesuai bagi Anda yang menginginkan bersantai dan melupakan waktu sejenak. Pantainya berpasir putih dan halus. Di beberapa titik, Anda akan menemukan kawanan ubur-ubur—yang mulanya saya kira silikon—terdampar di pinggir pantai. Jika ingin berbelanja, tinggal pergi ke pusat kota yang memiliki beberapa supermarket.


Suatu malam, saya dan teman-teman iseng ingin nongkrong di salah satu bar di Occheuteual Beach. Menurut peta, lokasinya hanya berjarak sekitar dua kilometer dari penginapan. Dengan berjalan kaki, kami menyusuri jalanan berpasir dan berkerikil selama berpuluh-puluh menit yang rasanya bagai seabad.


Jalan setapak itu rupanya berakhir pada sebongkah tembok yang menjulang setinggi dua meter, sehingga kami terpaksa mengambil jalur alternatif menerobos semak belukar dan muncul dari samping rumah penduduk. Setengah jam kemudian, dengan kondisi babak-belur
namun masih bertahan, kami bertiga mendaratkan pantat dengan lega di sebuah sofa kafe yang nyaman.

























Tanah Orang Mati dan Pohon Ajaib

Alkisah, ada sebatang pohon ajaib yang menjadi saksi bisu kekejaman rezim Khmer Merah terhadap rakyat Kamboja. Berdiri dia dalam sunyi, di tanah orang mati. Terlalu letih untuk terus bernyanyi. 

The Killing Fields
Ada satu hal yang membuat saya selalu bergidik ngeri tiap kali mengingat Kamboja: The Killing Fields. Meski gamang, rasanya sayang melewatkan napak tilas sejarah kelam negara tersebut. 


Monumen
The Killing Fields menjadi ladang pembantaian dan kuburan massal lebih dari satu juta rakyat Kamboja, yang menjadi korban kebrutalan rezim Khmer Merah pada 1975 sampai 1979, tak lama setelah berakhirnya Perang Sipil Kamboja (1970-1975). Lokasi itu kemudian disulap menjadi sebuah situs untuk memperingati tragedi berdarah bangsa tersebut. 
 

Tengkorak korban
Dari Pnom Phenh, Anda bisa menyewa tuk-tuk untuk mengantarkan ke lokasi. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam. Begitu memasuki situs, kami langsung disambut sebuah monumen berupa bangunan tinggi menjulang yang sisi-sisinya terbuat dari kaca. Di dalamnya dipajang ratusan tengkorak kepala manusia, yang berasal dari ribuan orang yang terbunuh dalam genosida di bawah rezim Pol Pot.


Kuburan massal
Lebih jauh ke dalam, kami menemukan sejumlah pondok tak berdinding yang merupakan kuburan massal para korban pembantaian serta sejumlah akuarium kaca yang memajang sisa-sisa pakaian mereka.

The Magic Tree
Di tempat ini pula berdiri sebatang pohon yang dinamakan 'the magic tree'. Dulu, sebuah pengeras suara yang mengeluarkan bunyi-bunyian digantungkan di atasnya untuk meredam erangan para korban saat dieksekusi.

Berburu Matahari Angkor

Dari Saigon, cuma butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai di perbatasan Vietnam-Kamboja. Sejak semula, saya dan teman-teman memang hanya berencana menjadikan kota itu sebagai tempat persinggahan sebelum menuju destinasi utama, Siem Reap. Keagungan Angkor Wat, sebuah kompleks percandian di Angkor, Kamboja, yang dibangun oleh Raja Suyawarman II di awal abad ke-12, menggelitik keingintahuan kami. Dengan menumpang bis yang harga tiketnya US$18 perorang, kami menempuh perjalanan darat menyeberangi perbatasan.

Berbeda dengan Vietnam, ketika memasuki Kamboja warga negara Indonesia membutuhkan visa. Biasanya, perusahaan bis menyediakan layanan bantuan pengurusan visa on arrival. Begitu bis mendekati  imigrasi, sang kondektur meminta kami mengumpulkan paspor dan menyerahkan uang sebesar US$25 untuk biaya administrasi.

Setelah semua urusan keimigrasian beres, bis melanjutkan perjalanan membelah daratan Kamboja. Empat jam kemudian, kendaraan yang kami tumpangi telah memasuki terminal bis Phnom Pehn. Untuk mencapai Siem Reap, penumpang memang harus transit dulu di ibukota negara tersebut. Pasalnya, dari Saigon tidak ada bis yang langsung menuju ke sana.

Dibandingkan Saigon, kondisi Phnom Pehn jauh lebih kumuh dan menyedihkan. Saya seolah terlempar ke masa lalu saat berdiri di tengah kepulan debu dan asap pekat yang tersembur dari knalpot bis-bis tua termakan usia. Gurat wajah kuyu, yang ditempa kerasnya kehidupan pascarezim Khmer Merah, berseliweran di depan mata. Niat saya untuk pergi ke kamar kecil pun langsung urung begitu melewati sederet pria yang dengan santainya membuka risleting celana di sebuah toilet terbuka.

Tak berapa lama, bis yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba. Semangat yang sudah kendor kian diperparah saat melihat kondisi tumpangan yang mengenaskan. Berbeda dengan bis sebelumnya, bis baru ini disesaki orang lokal yang juga hendak menuju Siem Reap. Sebagian besar rekan seperjalanan kami siang tadi sepertinya lebih memilih bermalam dulu di Phnom Pehn. Dengan waktu tempuh sekitar enam jam, kami tiba di tujuan sekitar pukul 9 malam.

Old Market
Angkor Night Market
Siem Reap adalah sebuah kota kecil yang tenang, dengan banyak hewan ternak seperti sapi melintas santai di jalan. Kota ini merupakan pintu gerbang menuju wilayah Angkor, yang menyimpan pesona cagar budaya dunia yang telah diakui UNESCO.

Jika ingin berpetualang malam di kota ini, pergilah ke Old Market, sebuah kawasan pasar yang dipenuhi berbagai kafe, bar, dan restoran yang menyajikan hidangan dari berbagai negara, termasuk kuliner khas Kamboja. Bagi Anda yang muslim, mencari hidangan halal merupakan pekerjaan yang sedikit menantang. Tapi, sepanjang penglihatan saya, terdapat beberapa restoran yang mencantumkan label halal di depan kedai mereka.
 
Drink wisely
Di siang hari, menjelajahi Old Market menjadi kesenangan tersendiri. Maklum saja, di pasar ini juga dijual berbagai suvenir seperti yang dapat ditemui di Ben Thanh Market. Bedanya, harga di sini nyaris separuhnya. Kemampuan saya dalam tawar-menawar pun mengalami peningkatan. Jika di Indonesia saya menawar dengan setengah hati, maka di sini saya menawar apa pun hingga sepertiga harga yang disebutkan. 

Berbeda dengan Vietnam yang transaksi perdagangannya sebagian besar masih menggunakan mata uang sendiri, di Kamboja mata uang real mereka nyaris tak berarti. Di setiap sudut, pedagang mengharapkan dolar AS, bahkan ketika Anda menawar tuk-tuk, sejenis delman yang ditarik motor—alih-alih kuda—sebagai sarana transportasi umum. 

Angkor Wat
Angkor Wat
Kami menginap di sebuah guest house kecil bernama Home Sweet Home, yang bertarif US$6 permalam. Dibandingkan tempat kami bermalam sebelumnya, penginapan ini menawarkan fasilitas seadanya, dengan TV yang tidak berfungsi, tapi masih menyediakan kipas angin besar di langit-langit kamar. Seorang penjaga penginapan, Sovan namanya, bersikap manis sejak awal kedatangan kami dan bersedia memberikan berbagai informasi berguna. 

Tidak ingin membuang-buang waktu, saya dan teman-teman berencana mengunjungi Angkor Wat petang itu juga. Menurut Sovan, selain menjelang fajar, itulah waktu terbaik untuk menikmati pesona arsitektur klasik Khmer tersebut. Diantar seorang pengendara tuk-tuk yang tidak saya ingat namanya, kami pun melaju ke sana. 

Ada tiga jenis tiket masuk ke Angkor Wat, yaitu tiket untuk satu hari, dua hari, dan tiga hari kunjungan. Harga tiket masuk untuk satu hari sebesar US$20, lipatgandakan saja harga itu untuk masing-masing kunjungan berikutnya. Perbedaan dari ketiga jenis tur ini adalah luasnya kompleks percandian yang boleh Anda jelajahi. Jadi, jika membeli tiket untuk satu hari, jumlah candi yang dapat dikunjungi cuma sepertiganya.

Biksu (berpose) berdoa
Kami memutuskan membeli  tiket masuk untuk satu hari. Enaknya, pelancong boleh masuk dan menikmati senja terbenam dari situs purbakala ini pada hari pertama, lalu kembali pada keesokan subuh untuk menyaksikan matahari terbit tanpa harus membayar lagi. Suasana dalam kedua kesempatan itu sungguh magis, ditambah lagi dengan para biksu berbalut jubah oranye yang berlalu lalang di sekitar candi untuk berdoa. 

Selain Angkor Wat yang merupakan candi terbesar di kompleks tersebut, beberapa kilometer ke utara dapat ditemui sejumlah candi lain yang tidak kalah indah, seperti Angkor Thom dan Bayon. Jika Anda ingat, situs ini adalah tempat film Tomb Raider, yang dibintangi si seksi Angelina Jolie, dibuat. Gosipnya sih, ketika kami berada di sana Mrs. Pitt ini juga lagi di Siem Reap untuk keperluan photo shoot. Sayang nggak sempat ketemu *ngokk.

Kerbau Gila dan Orang Amerika yang Pendiam

The Quiet American (2002) adalah alasan utama saya ingin menginjakkan kaki di Vietnam. Sisanya berpulang kepada suratan takdir, seperti tiket penerbangan murah dan kejemuan dalam bekerja. Selama ini, sebagian besar bayangan saya tentang Saigon memang bersumber dari potongan-potongan adegan di film itu, yang diadaptasi dari novel antiperang berjudul sama karangan  Graham Greene.

Saigon, yang berganti nama menjadi Ho Chi Minh City tak lama setelah pengambilalihan Vietnam selatan oleh komunis pada 1975, adalah kota terluas di negara yang identik dengan kopinya itu. Luas total kota, yang sekali waktu pernah dikenal dengan nama Prey Nokor, ini mencapai 2.095 kilometer persegi. Pada 2009, populasi penduduknya lebih dari tujuh juta jiwa.

Sejak dulu, yang paling dicari dari Saigon barangkali adalah kehidupan malamnya. Begitu pesawat mendaratkan kami di landasan pacu Tan Son Nhat International Airport, saya beserta dua sahabat segera meloncat ke dalam taksi yang membawa kami menuju District 1—sebuah kawasan paling populer di kalangan backpacker.


Ngintip tetangga
Kedatangan kami ketika itu bertepatan dengan peringatan jatuhnya Saigon dan reunifikasi Vietnam, 30 April 2011. Suasana gegap gempita. Semburan bunga api, yang beradu silau dengan sorot lampu warna-warni, pecah di langit malam selagi kami menapakkan kaki menyusuri plang demi plang nama jalan.

Tidak sulit menemukan penginapan murah di District 1. Di sepanjang jalan berjejer hostel bertarif mulai dari US$15 permalam—terselip di antara kios-kios, kafe-kafe, sampai lusinan bar yang penuh dengan turis mancanegara. Yang sedikit tricky adalah mencari penginapan murah dengan kualitas jempolan (ogah rugi). Setelah menyeret-nyeret koper sejauh beberapa ratus meter akhirnya kami menemukan penginapan yang namanya telah dicatat dengan hati-hati. Dengan membayar US$18 permalam, tubuh ini pun rebah dengan damai sentosa di sepetak kamar seluas 4x4 meter berpendingin ruangan, lengkap dengan tv kabel, seperangkat komputer plus koneksi internet gratis.

City tour
Setelah beristirahat semalam, kami memutuskan untuk menjelajahi kota keesokan paginya. Merencanakan city tour di Saigon semudah menjentikkan jari tangan. Berbagai biro perjalanan mengisi barisan ruko sempit di tiap sudut kota, semuanya menawarkan paket tur dengan harga bersaing. Destinasi wisata favorit para turis adalah Reunification Palace - Saigon Notre Dame Cathedral - War Remnants Museum - Jade Emperor Temple - Chinese Temples - Ben Thanh Market.

Suasana pasar
Demi menekan biaya perjalanan seminim mungkin, saya dan teman-teman menolak menggunakan jasa biro perjalanan dan memilih menetapkan rute sendiri. Selembar peta gratis yang kami sambar di airport, menjadi penunjuk jalan yang cukup akurat.

Destinasi pertama adalah Ben Thanh Market, sebuah pasar tradisional yang menjual berbagai pernak-pernik mulai dari tas, pakaian, topi, kalung, gelang, sampai penganan kecil dan kopi. Sayang, harga barang-barang di sini adalah 'harga turis', sedikit mahal bagi anggaran pengeluaran saya yang ketat. Di malam hari, ada pula night market yang digelar mulai pukul lima sore persis di luar Ben Thanh Market. Biasanya, harga barang-barang yang dijual di pasar malam ini lebih murah dibanding harga normal.

Notre Dame Cathedral
Dari Ben Thanh Market, kami berjalan kaki menuju Saigon Notre Dame Cathedral, berfoto sejenak di depan arsitektur peninggalan kolonial Prancis itu, lantas melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh City Museum. Tadinya, bangunan terakhir ini digunakan sebagai tempat kediaman para petinggi  pemerintahan Prancis, termasuk salah satu presiden Vietnam, Ngo Dinh Diem, sebelum akhirnya disulap menjadi  museum.

Puas melihat-lihat, saya dan teman-teman melanjutkan tur menuju War Remnants Museum yang didirikan pada September 1975. Tempat itu mendokumentasikan kejahatan perang Amerika Serikat dalam bentuk artefak, foto, dan gambar yang menunjukkan pembantaian terhadap rakyat sipil, penggunaan senjata kimia, sampai penganiayaan tahanan. Selain itu, dipamerkan pula sejumlah tank, bom, dan helikopter peninggalan perang.

Make love, not war
Tur keliling Saigon menurut saya cukup ditamatkan dalam waktu sehari. Menjelajahi kota paling asyik dilakukan dengan berjalan kaki. Tapi, kalau betis sudah tak mau kompromi lebih baik mencari taksi. Saya sih segan naik becak di sana. Bukan apa-apa, seorang kenalan teman saya bercerita, dulu pernah salah satu temannya keliling Saigon menggunakan becak tanpa lebih dulu menawar harga. Begitu turun, dia dipaksa membayar sejumlah uang yang kalau dirupiah-in bisa sampai sekitar 1 juta. Males, kan? 

Mirip Braga, kan?
Betul atau tidak kisah itu, saya juga kurang paham. Tapi, ngomong-ngomong soal ditipu, kami bertiga juga sempat 'dikerjai' sama seorang tukang becak di Vietnam. Jadi, ceritanya kami lagi ingin wisata pinggir sungai sambil makan camilan. Begitu melihat abang-abang yang menjual sate-satean di gerobak pinggir jalan, kami pun melipir. Apesnya, begitu menanyakan harga 10 tusuk sate yang sudah telanjur dipesan, si abang ternyata tak bisa bahasa Inggris apalagi Sunda. Bingung dong kita. 

Nah, di sinilah si tukang becak laknat itu mulai berperan. Melihat kesulitan yang dialami si abang tukang sate dan si kami-kami ini, dia pun datang mendekat lalu membisikkan sesuatu ke telinga si abang tukang sate. Setelah beberapa detik kasak-kusuk, dia menyerukan suatu angka yang membuat kami ingin memuntahkan kembali sate-sate yang sudah separoh dimakan. Pokoknya, kalau dirupiah-in angka itu sekitar 70ribu-an. Bete, kan. Mending beli ayam. 

Tia dan Dinda mau makan di resto, tak punya uang
Setelah beberapa menit beradu argumen, mengacungkan kalkulator di depan muka si tukang sate sambil mengibaskan-kibaskan tangan menyuruh si tukang becak diam, kami pun mengeluarkan beberapa lembar dong yang kalau dikonversi ke rupiah setara dengan 15ribu-an. Kejam ya? Bodo ah.

Tapi, tentu tidak semua pengalaman di sana tidak menyenangkan. Terlepas dari kenyataan bahwa mencoba menyeberangi jalanan Saigon sama artinya dengan menjemput ajal, kota itu cukup mengasyikkan untuk dikunjungi. Apalagi buat pecinta kopi. Yuk, ah mari ;)
Blogger Template by Clairvo